stop


Suara Semesta (Cirebon) - Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang putri yang bernama Nyi Mas Prabu Pakung Wati Ratna Kuning. Pada suatu hari Nyimas Pakung Wati pergi mengembara hingga berbulan-bulan, Ayahanda Nyimas Pakung Wati mulai gelisah, karena Nyimas Pakung Wati belum datang-datang setelah mengembara, kemudian ayahanda Nyimas Pakung Wati mengutus seorang prajurit untuk mencari Nyimas Pakung Wati, perjalanan ketujuh prajurit itu mengalami beberapa rintangan dan juga halangan, tetapi rintangan dan halangan tersebut dapat diatasi oleh ketujuh prajurit tersebut.

Pada suatu hari akhirnya ketujuh prajurit tersebut bertemu dengan Nyimas Pakung Wati yang sedang mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat dzuhur pada saat itu. Setelah semuanya mengambil air wudhu, kemudian mereka mencari tempat untuk melaksanakan ibadah sholat.

Nyimas Pakung Wati dan ketujuh prajuritnya tinggal dan menetap di bawah pohon Waru yang Gede (Besar) dan pohonya rindang, pada saat itu masih berupa pohon belantar, kemudian Nyimas Pakung Wati membakar seluruh hutan belantara, tujuan Nyimas Pakung Wati membakar hutan belantara tersebut untuk mmebuat suatu perkampungan. Nyimas Pakung wati membakar hutan belantara tersebut sambil berucap “barang siapa hutannya terbabakar oleh api ini maka itu adalah daerah kekuasaanku”. Api tersebut menyala dan merambat sampai daerah Mandala.


Kelihatan sangat indah dan bersih setelah hutan belantara tersebut dibakar, Nyimas Pakung Wati merasa nyaman dan bahaagia tinggal di perkampungan tersebut, hingga pada akhir hayatnya Nyimas Pakung Wati menetap di perkampungan tersebut. Pada zaman dahulu hingga zaman sekarang perkampungan tersebut disebut dengan desa Warugede, pada zaman dahulu desa Warujaya bernama Warugede pada saat pemekaran diganti namanya menjadi Desa Warujaya sampai sekarang.

Sejarah Nyimas Pakung Wati di Desa Warujaya, berdasarkan hasil wawancara, Astana Pakungwati bermula dari keluarnya Nyi Mas Pakungwati dari Keraton Pakungwati (sekarang namanya Keraton Kasepuhan) untuk melakukan perjalanan menuju Banten dan bertemu dengan anak tirinya, Maulana Hasanuddin. Proses perjalanan yang dilakukan Nyi Mas Pakungwati untuk menenangkan diri dan pikirannya akibat rasa cemburu yang muncul di hatinya karena kehadiran Puteri Ong Tien Nio sebagai istri ke empat Sunan Gunung Jati.

Rasa cemburu tersebut beliau tuangkan dalam hal positif yakni dengan melakukan dakwah Islam ke seluruh wilayah Cirebon atau wilayah yang dilaluinya selama melakukan perjalanan tersebut. Hal itu beliau lakukan untuk membantu suaminya dalam menyiarkan agama Islam ke seluruh penjuru wilayah, khususnya Cirebon. Atas kesabaran dan usahanya itulah Islam dapat berkembang ke seluruh wilayah Cirebon, khususnya wilayah Cirebon Barat Daya yang menjadi tempat dibangunnya Astana Pakungwati tersebut.

Nyi Mas Pakungwati pada awalnya bertujuan keluar dari wilayah Keraton Pakungwati bukanlah untuk berdakwah, melainkan untuk menenangkan dirinya dan mencari ketenangan. Beliau merasa cemburu dengan kehadiran putri Ong Tien Nio, di tengah-tengah rumah tangganya dengan Sunan Gunung Jati. Beliau merasa sakit hati dan cemburu hingga akhirnya memilih untuk melakukan perjalanan guna menemui anak tirinya di Banten, yaitu Maulana Hasanddin, namun dalam perjalanan tersebut beliau mulai melakukan dakwah Islam ke seluruh wilayah yang dilaluinya, khusunya wilayah Cirebon Barat Daya dengan harapan agar rasa cemburu tersebut hilang dengan sendirinya.

Menurut Ka Farihin selaku orang dalem Keraton Kesepuhan, Sebagian masyarakat tersebut menyakini betul bahwa Astana Pakungwati yang ada di desa Warujaya (dahulu bernama Warugede) adalah sebuah makam dan bukan hanya petilasan. Alasan lainnya didasarkan pada fakta cerita dari masyarakat sekitar bahwa Nyi Mas Pakungwati dahulu mengembara untuk menenangkan pikirannya akibat rasa cemburu yang muncul ketika Sunan Gunung Jati berpoligami dengan Puteri Ong Tien Nio, karena kecemburuan itulah maka beliau tuangkan dalam hal positf dengan berdakwah serta menyebarkan agama Islam seperti yang dilakukan suaminya (Sunan Gunung Jati). Kemudian beliau membuat suatu padepokan atau perkampungan di tengah hutan untuk beristirahat dan menjadi tempat singgahan sementara selama melakukan dakwah tersebut.

Tujuan utama beliau melakukan perjalanan adalah ingin pergi ke Banten dan menemui anak tirinya, Maulana Hasanuddin atau Pangeran Sabakingkin (putra Nyi Kawunganten atau istri ke dua Sunan Gunung Jati) dan mencari ketenangan lahir batin. Namun sesampainya di Banten, beliau tidak bisa tinggal lebih lama lagi. Nyi Mas Pakungwati diminta pulang kembali ke Cirebon oleh Maulana Hasanuddin karena beliau belum meminta izin kepada suaminya (Sunan Gunung Jati), untuk melakukan perjalanan tersebut, dengan perasaan yang sedikit kecewa akhirnya Nyimas Pakung Wati kembali ke Cirebon.

Maulana Hasanuddin merasa khawatir akan keselamatan ibundanya selama di perjalanan, kemudian Maulana Hasanuddin mengutus prajuritnya untuk mengawal Nyimas Pakung Wati untuk melalui perjalan menuju ke Cirebon, Sangga Buana untuk menjadi pengawal Nyi Mas Pakungwati guna melindunginya dari hal-hal yang tidak diinginkan selama di perjalanan. Maulana Hasanuddin pada saat itu cemas dengan Nyimas Pakung Wati yang hendak pulang ke Cirebon seorang diri, karena pada saat itu Cirebon masih berlokasikan hutan belantara dan masih banyak bahaya yang mengintai di sana.

Dalam perjalanan kembali ke Cirebon itu, sebelum sampai di Keraton Cirebon (KeratonPakungwati), beliau singgah di sebuah pedukuhan bernama Duku Demit (Cidemit). Beliau merasa perlu membuat suatu tempat peristirahatan semestara sebelum kembali melanjutkan perjalananya. Nyimas Pakung Wati dan para prajuritnya beristirahat di Desa Waru, menurutnya Desa Waru adalah tempat asri dan tenang serta mendukung suasana hatinya yang sedang kecewa, selain itu juga tempat tersebut dirasa mampu menghilangkan rasa kekecewaanya selama ini, kemudian beliau berencana membuat padepokan atau disebut dengan perkampungan di daerah tersebut dengan cara membakar hutan belantara sampai terbentang luas.

Arah terbakarnya hutan tersebut hingga ke arah Selatan dan Barat Daya. Dalam proses pembakaran hutan tersebut, beliau berucap “Sampai dimanapun api ini membakar hutan belantara, maka wilayah yang terbakar tersebut akan menjadi wilayah kekuasaanku”. Dan benar saja, wilayah hutan belantara yang terbakar tersebut sangat luas hingga ke wilayah Padangbenghar (kecuali Cangkoak). Karena wilayah hutan yang terbentang luas tersebut, maka daerah tersebut diberi nama Desa Warugede, yang artinya desa yang besar. Namun kebenaran fakta mengenai tempat tersebut hanya Tuhan yang tau, manusia hanya bisa menerka-nerka. Hal itu disebabkan kurangnya bukti tertulis yang ditemukan mengenai sejarah tempat bersejarah tersebut

Menurut Ibu Qonitin, Setelah hutan belantara tersebut terbakar, maka beliau mulai membersihkan sisa-sisa pembakaran dan mendirikan suatu Astana atau Keraton kecil di tempat tersebut. Astana yang beliau buat diberi nama Astana Pakungwati, hal itu sesuai dengan namanya. Sebelum mendirikan Astana Pakungwati, terlebih dahulu beliau meminta izin kepada Ki Raksa Guna (Ki Gede Waru) selaku orang pertama yang memiliki desa Waru tersebut guna mendirikan Astana Pakungwati dan oleh Ki Raksa Guna disetujui.

Tempat tersebut awalnya tidak dijadikan tempat tinggal selamanya, hanya dijadikan sebagai tempat singgah sementara. Namun karena desa Waru tersebut dirasa lebih tenang dan nyaman, maka beliau enggan melanjutkan kembali perjalananya untuk pulang ke Cirebon Timur. Dan sampai akhir hayatnya pun beliau lebih memilih desa Waru atau Warugede tersebut sebagai tempat tinggalnya dan akhirnya ketika beliau wafat, beliau di makamkan di kompleks Anstana Pakungwati tersebut. Itulah yang menjadi alasan beliau tidak dikuburkan di kompleks pemakaman Gunung Jati. Masih karena alasan sakit hati itu pula, beliau memilih Astana Pakungwati untuk menghabiskan sisa umurnya.

Menurut cerita Ibu Qonitin, Sunan Gunung Jati mengajak Nyi Mas Pakungwati untuk kembali ke keraton Cirebon. Namun Nyi Mas Pakungwati masih tetap ingin tinggal di pansanggrahan Warugede, sehingga Sunan Gunung Jati mengizinkannya dengan memenuhi kebutuhan yang diperlukan, baik alat-alat ataupun dayang-dayang dan para wadyabala (pajurit/bala tentara) secukupnya untuk mengawal dan menjaga keamanan,dan hal itu disetujui oleh Sunan Gunug Jati, karena beliau tidak ingin memaksakan keinginan istrinya itu.

Menurut cerita Pak Opan Safari, Nyimas Pakung di kenal dengan sebutan Ratu Dalem Pakung Wati oleh masyarakat Cirebon. Sunan Gunung Jati mempunyai Sembilan istri, tetapi beliau lebih mencinti Nyimas Pakung Wati, maka dari itu Nyimas Pakung Wati jabatan dengan sebutan Ratu Dalem Pakung Wati, istri Sunan Gunung Jati yang selain Nyimas Pakung Wati adalah istri selir.

Ketika Nyimas Sunan Gunung Jati menikahi Putri Ong Tien, Nyimas Pakung Wati pergi dari Istana, kemudian Nyimas Pakung Wati pergi ke sebuah desa yang disebut dengan Desa Warugede, disitu Nyimas Pakung Wati mendapatkan ketengan, dan di situlah Nyimas Pakung Wati membantu suaminya Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan agama Islam.

Sunan Gunung Jati dan para prajuritnya datang ke Desa Warugede, dengan tujuan untuk mengajak Nyimas Pakung Wati untuk kembali ke Istana, kemudian Nyimas Pakung Wati menerima ajakan Sunan Gunung Jati, dan pada akhirnya Nyimas Pakung Wati kembali ke Istana.

Nyimas pakung Wati memiliki kehidupan yang panjang, ketika Sunan Gunung Jati wafat, Pangeran Paserean, Pangeran Dipati Cerbon, kemudian baru Penembahan Ratu, Nyimas Pakung Wati wafat. Nyimas Pakung Wati wafat ketika sedang memadamkan kebaran di Keraton Kesepuhan. Kebaran tersebut bersumber dari unsur ghaib baruan mandi (bangsa siluman), ketika Nyimas Pakung Wati wafat karena peristiwa kebaran tersebut raga dan arwah Nyimas Pakung Wati ikut terbawa, hal tersebut disebut dengan mokshayang artinya ketika Nyimas Pakung Wati wafat bukan hanya arwahnya saja yang ikut pergi tetapi badan Nyimas Pakung Wati pun ikut terbawa.

@A. Rahmat, 
Baca Juga

Post A Comment:

0 comments: