stop


Suara Semesta
 (CIREBON) - Viralnya kembali kasus Vina membuat banyak opini di masyarakat. Dan atas tertangkapnya DPO atas nama Pegi Setiawan yang sudah di umumkan Polda Jawa Barat sebagai tersangka.

Ketua Dewan Kehormatan PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) Cirebon,
Dr. R. Pandji Amiarsa, SH., MH., menjelaskan, penetapan tersangka itu ada kaidah - kaidahnya, dilakukannya satu upaya dimulai  penyelidikan - penyelidikan juga ada kaidah - kaidahnya, dan sudah tentu dikembalikan kepada tingkat kematangan dari barang bukti yang berhasil di himpun.

Untuk mendapatkan barang bukti, Pandji menerangkan ada lima point yang perlu diperhatikan, antara lain:
1. Keterangan Saksi
2. Keterangan Ahli
3. Bukti Petunjuk
4. Surat, dan
5. Keterangan tersangka.

"Lima alat bukti ini terpenuhi setidaknya minimal dua alat bukti, baru di tetapkan sebagai tersangka, minimal dua alat bukti dari lima alat bukti ini, syukur - syukur ditingkatkan lebih ideal lima alat bukti ini terpenuhi," ungkap Pandji di ruang kerjanya kepada media. Senin, (27/5/2024).

Kalau ada isu bahwasanya ini salah tangkap dan lain lain, kembali kepada hak dari keluarga yang menjadi korban atau salah tangkap tersebut. Ada hak sebagai warga negara ketika memang ditetapkan oleh penguasa seperti itu apalagi melalui proses pidana, dia bisa mempra peradilankan, tambahnya.

Jadi kalau kasus yang lama ditetapkan orang orang yang sudah menjadi satu terpidana di isukan bahwasanya itu tuh bukan pelaku yang sebenarnya. Kata Pandji, harusnya dalam masa masa awal sebelum itu di limpahkan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU), Penasehat Hukum (PH) menggunakan haknya untuk menguji terkait dengan keabsyahan penetepan tersangkanya saat lalu, bukan dibicarakan dalam ruang publik seperti sekarang.

"Ini kan artinya tahapannya sudah selesai. Pra peradilan terhadap penetapan tersangka itu hanya ada diruang dimana berkas belum di limpahkan kepada Kejaksaan Negeri atau Jaksa Penuntut Umum. Sebelum P21 wilayahnya pra peradilan terhadap penyidik. Kalau sudah P21 pra peradilan ditujukan kepada Jaksa Penuntut Umum bukan ke penyidik," terang Pandji.

Kalau Penasehat Hukum merasakan ada kejanggalan dan ada informasi dari klien bahwasanya kliennya bukan pelakunya, klien tersebut bisa membuktikan pada saat peristiwa itu dia tidak ada di tempat. Maka, ketika tidak di tempat, dia dimana. Saksi - saksinya dikumpulkan.

Gugurnya pra peradilan, lanjut Pandji, untuk status tersangka dalam tingkat penyidikan itu sebelum P21, kalau sudah P21 gugur pra peradilannya. "Kalau sudah dilimpah ke kejaksaan (sudah di P21 kan) bisa tidak pra peradilan? Bisa, jawab Pandji.

Pra peradilannya di arahkan kepada Jaksa bukan pada Penyidik. Tapi kalau pun nanti pra peradilan di alamatkan kepada Jaksa, Jaksa berhasil melimpahkan kepada Pengadilan, gugur pula nilainya.

"Kalau yang sudah jadi produk hukum, apa payung hukumnya? PK, jangan diskusi ke belakang," kata Praktisi Akademis Pandji Amiarsa.

Dalam hal ini kasus Pegi, ditetapkan tersangka tidak ngaku, alasan salah tangkap dan lain - lain. Satu sisi aparatur penyidik juga harus ada rambu - rambunya, tetap menghormati hak asasi manusia.

Jadi dalam artian, jangan membungkam ruang bicara seorang tersangka, itu tetap harus diberikan, kenapa? Ya tersangka itu belum tentu bersalah, baru tersangka, terdakwa pun belum.

Jika Pegi mau bicara pra peradilan, menurut Pandji, hak hukumnya adalah saat ini. Ketika sudah di tetapkan sebagai tersangka dan dia merasa bukan dia pelakunya bicaralah kepada pengacara. "Pak pengacara tolong lah saya ingin menggunakan hak hukum saya pra peradilankan statusnya tentang penagkapan dan penahanan saya." Jangan sampai terlewat lagi waktunya, "Ini lah saatnya," tegas Pandji.

Kenapa hukum acara pidana UU No.8 tahun 1981 banyak sekali hak hak diberikan kepada tersangka? karena apa? Karena menjunjung tinggi hak asasi manusia. "HAM nya tuh tinggi banget hukum acara pidana kita tuh," tandas Pandji.

Terbersit kah para Advokat lokal untuk membantu Pegi yang sudah di nyatakan sebagai tersangka agar tidak menjadi korban salah tangkap?.

"Tindak pidana yang mengakibatkan matinya orang, itukan ancaman pidananya tinggi, kewajiban negara melalui aparatur penyidik, ketika dia tidak bisa menyiapkan pengacara sendiri, maka Kepolisian yang memeriksa itu memberi ruang untuk menyediakan Penasehat Hukum pada saat pemeriksaan," jawab Ketua Dewan Kehormatan Peradi ini.

BAP, dalam sebuah proses tindak pidana yang mewajibkan ada Penasehat Hukum tapi tidak ada Penasehat Hukum, maka BAP nya cacat hukum, BAP nya batal demi hukum, ga sah BAP nya dan semua itu tertuang dalam KUHAP hukum acara pidana. Hak - hak tersangka tentang bantuan hukum karena ancaman pidananya di atas 5 tahun.

"Jadi kalau ancamannya di atas 5 tahun itu, negara harus hadir untuk menyiapkan Penasehat Hukum ketika tersangkanya tidak mampu. Hal ini perlu di teliti, saat di ambil keterangan, Pegi ini di dampingi Penasehat Hukum atau tidak. Supaya apa sih, supaya tidak ada lagi rumor diluaran saat di BAP itu tuh, pak saya sebetulnya membantah, tapi saya dipaksa mengaku. Kalau pakai Penasehat Hukum kan valid jadinya, hampir pasti tidak ada intimidasi, jadi wajib ada Penasehat Hukum bukan lagi fakultatif," tegas Pandji.

Pengakuan bukan alat bukti dalam perkara pidana, di dalam hukum acara pidana, tidak ada pengakuan sebagai alat bukti, yang ada adalah keterangan saksi, keterangan ahli, bukti petunjuk, surat dan keterangan tersangka.

"Boleh kah tersangka ingkar atau membantah? Boleh, karena tidak ada pengakuan, dan penyidik sudah metodelogi penggalian fakta pidana itu tidak lagi harus mengejar pengakuan, jadi tidak perlu di bungkam dia memberikan keterangan membantah, hak hukumnya dia membantah. Boleh ingkar, kenapa? Penyidik tidak perlu terperangkap atau bertumpu kepada ingkarnya seseorang itu. Tapi kalau dia punya alat bukti yang berkecukupan, ada keterangan saksi, minimal dua, ada bukti petunjuk, itu mencukupi semuanya, bisa tersangka tanpa harus dikejar pengakuannya," kata Pandji.

Di dalam persidangan, itu biasanya menjadi faktor pemberat bagi hakim, bagi terdakwa yang keterangannya berbelit belit. Bagi terdakwa yang keterangannya bisa apa adanya, terbuka jujur, memudahkan jalannya persidangan, berusaha santun dalam persidangan, ini yang menjadi faktor peringan bagi hakim.

Masyarakat harus tahu, dengan seseorang mengelak, membantah tidak serta merta kemudian tidak bisa ditetapkan sebagai tersangka, karena pengakuan bukan alat bukti. Dan penyidik juga disatu sisi tidak harus mengejar pengakuan, tapi pembuktian ilmiah yang menyadarkan pada hukum acara pidana.

Harapan Pandji sebagai Akademisi, proses ini dilakukan oleh aparatur penegak hukum dengan cara yang profesional, bagi Penasehat Hukumnya juga bagaimana untuk Pegi, berikan advokasi yang baik, berikan hak haknya Pegi secara utuh sebagaimana batasan hukum acara pidana, dan semua tetap menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah, termasuk bagi publik juga jangan menghakimi duluan, biar di dalam persidangan, disitulah pengujian, hakim yang memutuskan, tidak ada perkara yang tanpa ujung.

Pesan Ketua Dewan Kehormatan PERADI Cirebon :
1. Dalam hal penentuan DPO, Pandji menegaskan wilayah internal Kepolisian terkait dengan profesional kinerja. "Koq ada salah sebut," jangan sampai nanti kalau dibiarkan ada satu upaya koreksi secara internal ini bisa jadi bahasa hukum kedepannya di akui, salah satu trik, ucap Pandji diskusi bareng media di ruang kerjanya. "Tugas PH (Penasehat Hukum), harus perjuangkan itu."

2. Untuk masyarakat jangan langsung menghakimi, sampai suatu proses itu final di pengadilan dan berbentuk produk hukum positif, bagaimana pun ujungnya setiap perkara itu harus ada akhirnya, sesuai asasnya Litis Finiri oportet. Dan apa yang dihasilkan keputusan pengadilan itulah yang menjadi bagian dari hukum positif yang diterangkan di indonesia.

3. Bagi aparatur hukum sudah tentu ada rambu rambu, batasan batasan wewenang, dan sikap sikap profesional harus ada teruji disitu karena akuntabilitas Polri sekarang lagi di uji untuk perkara Vina.

4. Untuk keluarga yang terkait, ada hak hukumnya. Disarankan menggunakan Penasehat Hukum yang terus mendampingi dari mulai pemeriksaan awal tingkat penyidikan terus sampai ke unit, dan digunakan argumennya kalau memang penetapan itu menjadi janggal, minta di ujikan lewat pra peradilan supaya ada kepastian hukum.

"Tujuan hukum dalam sisi akademisi ada 3, yaitu kepastian, keadilan kemanfaatan. Penanganan perkara juga muaranya harus sampai ke titik ini, ada kepastian, keadilan, kemanfaatan, kemudian produk - produk hukum yang dihasilkan atas sebuah proses juga harus memenuhi tiga aspek, yaitu keadilan moral, keadilan sosial baru keadilan hukum. Mudah mudahan, kaidah - kaidah ini adalah kaidah yang akademik dan ini mudah mudahan ada terpenuhi di proses ini," tutup Pandji.
Baca Juga

Post A Comment:

0 comments: