stop


Suara Semesta | Perang Puputan Madura merupakan bagian penting dari sejarah Indonesia, menggambarkan ketegangan antara Sultan Agung dari Mataram dan kekuatan lokal di Madura. Sultan Agung berusaha memperluas kekuasaan Mataram dengan menaklukkan wilayah Surabaya dan Madura, terutama setelah jatuhnya Tuban pada tahun 1619 dan mengalahkan Madura pada tahun 1624. Upaya ini mengakibatkan banyak korban di pihak Mataram, namun Sultan Agung tetap bertekad untuk mengalahkan lawan-lawannya.

Strategi dan Penindakan

Pada tahun 1624, Sultan Agung memerintahkan Tumenggung Alap-Alap untuk mengawasi Surabaya. Dalam strategi baru ini, ia mengerahkan pasukannya ke seluruh Selat Madura untuk pertama kalinya. Meskipun Mataram dikenal sebagai kerajaan agraris, keberhasilan terjadinya laut adalah langkah yang signifikan. Pada saat yang sama, Surabaya dalam keadaan lemah karena tekanan dari berbagai pihak, termasuk angkatan laut Belanda yang telah menyerah di Gresik.

Pendaratan pertama pasukan Mataram mengalami kegagalan, disebabkan oleh perlawanan keras dari pangeran-pangeran Madura. Mataram terpaksa mundur untuk menyusun strategi ulang. Namun, dengan keberanian dan ketekunan, mereka meluncurkan kegagalan kedua pada malam hari saat air pasang, yang akhirnya berhasil.

Pertempuran Meletus

Keesokan harinya, terjadi pertempuran besar antara pasukan Mataram dan Madura yang berlangsung hingga 12 jam. Kedua belah pihak mengalami kelelahan, tanpa ada yang dapat mengklaim kemenangan. Malam harinya, 400 tentara Madura menantang pasukan Mataram untuk berduel. Arena duel tersebut menjadi pembuktian keberanian dan kejayaan, yang diakhiri dengan matinya banyak tentara Mataram, termasuk Adipati Pamekasan dan Adipati Sujanapura. Momen ini menjadi dasar bagi tradisi carok di Madura, yang menekankan duel satu lawan satu.

Penguatan Pasukan Mataram

Setelah mengalami banyak kerugian, Sultan Agung mengirimkan pasukan tambahan yang dipimpin oleh Tumenggung Wiraguna. Dalam fase ini, Mataram mulai meraih kemenangan. Kota-kota seperti Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep berhasil ditaklukkan. Kemenangan ini juga tidak lepas dari peran Ki Juru Kiting, seorang pertapa dari Mataram, yang konon memiliki kesaktian luar biasa yang dapat memperkuat pasukan Mataram.

Perlawanan Gigih dari Perempuan Madura

Salah satu aspek yang menarik dari perlawanan Madura adalah keterlibatan perempuan. Banyak perempuan Madura yang berani mengambil senjata dan bertarung di medan perang, membunuh laki-laki yang takut memukul. Istri-istri tentara tidak rela suaminya pulang tanpa sampai akhir, bahkan ada yang membunuh suami mereka yang memilih menyerah. Ini mencerminkan semangat juang yang tinggi dan keberanian perempuan Madura, serta menjadi bagian dari sejarah emansipasi wanita di pulau tersebut.

Perang Habis-Habisan

Pertempuran di Madura terus berlangsung dengan sengit, meskipun kekuatan Mataram terus bertambah. Rakyat Keraton Pamekasan menampilkan keteguhan luar biasa, meskipun banyak pahlawan yang gugur, termasuk Pangeran Ronggosukowati dan Pangeran Purbaya. Pertempuran ini dikenal sebagai Perang Habis-habisan atau "Puputan," yang menggambarkan semangat untuk bertahan hingga titik darah penghabisan.

Akhir Perang dan Dampaknya

Setelah kekalahan, pasukan Tumenggung Wiraguna membawa ribuan tawanan ke Mataram, termasuk Raden Prasena, putra penguasa Madura barat yang masih kecil. Sultan Agung mengangkatnya, membesarkannya, dan kemudian menikahkannya dengan putrinya, memberi gelar Pangeran Cakraningrat I. Raden Prasena akhirnya diangkat sebagai penguasa Madura, menggabungkan kekuatan Mataram dengan tradisi lokal.

Perang Puputan Madura bukan hanya sekadar pertempuran, tetapi juga simbol keberanian dan semangat juang masyarakat Madura. Sejarah ini menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana nilai-nilai tradisional dan semangat kolektif dapat membentuk identitas sebuah masyarakat. Tradisi carok, yang lahir dari peristiwa ini, terus menjadi bagian dari warisan budaya Madura yang kaya.


Redaksi SuaraSemesta 
Baca Juga

Post A Comment:

0 comments: