stop


Suara Semesta| Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah kembali tertimpa musibah alam. Masih segar dalam ingatan kita saat banjir bandang melanda sejumlah desa di wilayah Brebes dan Tegal, yang bahkan sempat memutus satu-satunya jembatan penghubung antara kedua kabupaten tersebut.


Dan kini, musik kembali terjadi. Pada Kamis dini hari, 17 April 2025, sekitar pukul 02.30 WIB, tanah longsor menerjang Dukuh Mendala Krajan dan Dukuh Mendala Babakan, Desa Mendala, Kecamatan Sirampog. Sebanyak 28 kepala keluarga yang tinggal di RT 5, 6, dan 7 RW 3 harus dievakuasi ke lapangan futsal Gunung Poh. Rumah-rumah mereka terancam roboh akibat tanah yang amblas hingga hampir sedalam satu meter.


Lirik lagu Ebiet G. Ade berbunyi,
“Anugerah dan bencana adalah kehendak-Nya.” Namun, jika dicermati lebih dalam, banyak bencana alam yang sebenarnya dipicu oleh ulah manusia yang tidak bersahabat dengan alam.

Dari berbagai jenis bencana alam seperti banjir, kebakaran hutan, tanah longsor, hingga gempa bumi dan letusan gunung berapi, sebagian besar sejatinya bukan murni karena alam. Gempa bumi, angin topan, dan letusan gunung bisa disebut bencana alam murni. Namun banjir dan tanah longsor sering terjadi akibat kerusakan lingkungan oleh manusia.

Hal ini juga disampaikan oleh dua anggota GRIBJAYA, Mas Imam Gozali dan Mas Hani, yang turut membantu proses evakuasi di lokasi bencana. Menurut mereka, ada dua faktor utama penyebab longsor di Desa Mendala:

• Penebangan hutan yang tidak diimbangi dengan reboisasi. Akibatnya, tidak ada lagi resapan air yang cukup saat musim hujan tiba.

• Pengambilan material berupa batu-batu penahan tebing sungai. Ketika terjadi banjir, tanah di sekitar tebing mudah tergerus arus udara yang deras. Apalagi kondisi geografis wilayah tersebut berupa tebing-tebing curam dengan kemiringan hampir 90 derajat.

Dalam Al-Qur'an, hujan justru disebut sebagai rahmat dan nikmat. Maka jika hujan lebat justru mendatangkan bencana, itu bukan karena hujannya, melainkan karena tanah dan sistem pelindung udara yang tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.

Begitu juga dengan angin. Dalam banyak tafsir klasik disebutkan, seandainya angin berhenti bertiup walau hanya sesaat, maka bumi dan segala isinya akan dipenuhi bau yang sangat tidak sedap. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita bersyukur atas keberadaan angin dan segala nikmat Allah yang tak terhitung jumlahnya.

Mari kita renungkan sejenak. Dalam perjalanan hidup ini, kita pasti menghadapi berbagai keadaan — suka dan duka, sehat dan sakit, bahagia dan derita. Semua datang silih berganti seperti siang dan malam. Menyikapi keadaan seperti ini memerlukan ketabahan dan kesabaran. Sabar dalam arti mampu menerima ujian, sekaligus berusaha mencari jalan keluar dari kesulitan.

Khususnya dalam menghadapi bencana, kita harus mengambil pelajaran agar hal serupa tidak terulang kembali. Sebagai bangsa, kita punya tanggung jawab moral untuk menemukan formula terbaik demi menyelamatkan bumi dan isinya — warisan untuk anak cucu kita kelak.

(Yati)
Baca Juga

Post A Comment:

0 comments: