Suara Semesta – Kasugengan Kidul, Kecamatan Depok, Kabupaten Cirebon – Dalam rangka memperingati Hari Jadi ke-44, Pemerintah Desa Kasugengan Kidul menyelenggarakan acara Grebeg Syawal yang dirangkai dengan pengajian umum. Kegiatan ini berlangsung pada hari Sabtu, 5 April 2025, di halaman Kantor Desa Kasugengan Kidul dan dihadiri oleh berbagai unsur masyarakat serta tokoh penting setempat.
Hadir dalam acara tersebut Ustadz H. Hasan Wahyudin sebagai penceramah utama, Mama Kuwu Giantoro, Babinsa Koramil Depok, Bhabinkamtibmas Polsek Depok, para mandor se-Kecamatan Depok, BPD, Dalem Penyarikan Desa Adat Kasdul, Ketua dan Anggota TPPKK, LPM, Bumdes, PLD, LPD, Kader Posyandu, tokoh masyarakat, PLKBK, serta Koharrudin, Ketua DPD HIPWI Kabupaten Cirebon.
Dalam tausiyahnya, Ustadz H. Hasan Wahyudin menjelaskan makna mendalam di balik tradisi Grebeg Syawal yang rutin digelar setiap tahun usai Idul Fitri. Menurutnya, Grebeg Syawal merupakan bentuk rasa syukur kepada Allah SWT setelah berhasil menunaikan ibadah puasa Ramadhan selama sebulan, serta puasa enam hari di bulan Syawal.
“Tradisi ini harus dilihat dari sisi filosofinya, sebagai ungkapan syukur kepada Allah. Selain itu, Grebeg Syawal juga menjadi sarana mempererat silaturahmi dan membangun ukhuwah di antara warga,” ujarnya kepada Suara Semesta .
Namun ia mengingatkan agar tradisi ini tidak disusupi unsur-unsur syirik seperti upacara sesaji atau ritual-ritual yang bertentangan dengan ajaran Islam. “Nilai yang luhur ini jangan sampai ternodai. Kita harus mengingatkan agar tujuan utama tradisi tetap sesuai dengan ajaran agama,” tegasnya.
Senada dengan itu, tokoh masyarakat Juragan Subandi menuturkan bahwa pelaksanaan Grebeg Syawal di berbagai daerah memiliki bentuk yang beragam. Ada yang mengumpulkan makanan untuk disantap bersama, sebagai simbol kebersamaan dan solidaritas. Ada pula yang melakukan ziarah ke makam leluhur, yang menurutnya patut dimaknai sebagai sarana untuk mengingat kematian (mau'izhoh bil maut), bukan dalam konteks mistis.
“Ziarah ke makam leluhur itu spiritnya adalah untuk meneruskan perjuangan para tokoh terdahulu, bukan karena alasan mistik. Kita ingin agar nilai-nilai luhur tetap terjaga,” jelas Subandi.
Ia juga menegaskan bahwa pembagian makanan dalam tradisi ini seharusnya dimaknai sebagai bentuk sedekah dan kepedulian sosial, bukan karena kepercayaan terhadap hal-hal gaib.
"Nama bulan Syawal sendiri berarti kemajuan. Maka, setelah silaturahmi diperkuat, akan muncul peningkatan kohesi sosial dan solidaritas antarwarga. Dari situ tumbuh kasih sayang, semangat persahabatan, dan rasa persaudaraan," tambahnya.
Ia mengakhirinya dengan menyampaikan bahwa tradisi Grebeg Syawal merupakan bagian dari kekayaan budaya keagamaan Indonesia yang harus disyukuri dan dijaga nilainya.
“Kita harus lestarikan tradisi ini sebagai warisan yang memperkuat iman dan persatuan, dengan tetap menjaga agar tidak melanggar prinsip-prinsip agama,” pungkasnya.
(Dariman A.Md)
Post A Comment:
0 comments: